HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN - TUGAS 1

/ Selasa, 18 Oktober 2016 /
HUKUM & PRANATA PEMBANGUNAN
RUFI IMANISA / 29314849


Standar Etika 1.5
Nilai Hak Asasi Manusia
Arsitek wajib menjunjung tinggi hak–hak asasi manusia dalam setiap upaya menegakkan profesinya.
·         Kaidah Tata Laku 1.501
Dalam menjalankan kegiatan profesionalnya, arsitek bersikap tidak membeda-bedakan seseorang/golongan atas dasar penilaian ras/suku, agama, kebangsaan, cacat, atau orientasi gender.
***

            Dapat kita perhatikan secara seksama dari ‘kaidah tata laku’  tersebut diatas, bahwa seorang arsitek tidak dibenarkan membedakan klien atas hal-hal dasar yang merupakan status atau identitas mereka. Memang benar tak seharusnya seorang arsitek—bahkan seorang manusia pada hakekatnya menilai rendah atau memandang seseorang dengan sebelah mata. Namun terkadang, ketika seorang arsitek memiliki kepercayaan akan suatu hal atau prinsip yang ia yakini untuk tidak dilewati batasnya, disitu klien dituntut untuk mengerti dan memaklumi hal itu.

            Disini, secara spesifik akan saya jelaskan tentang mengapa saya sedikit keberatan dengan kaidah tata laku tersebut. Khususnya ketika seorang arsitek membedakan seseorang atas dasar agama. Di dunia ini, terdapat beragam agama yang diyakini oleh umat manusia. Dan dalam segi ke-arsitektur-an, agama memiliki tempat ibadah dan karakter khasnya masing-masing.

            Dalam kasus ini, bayangkan ketika seorang arsitek diminta untuk merancang tempat sakral (rumah ibadahnya) oleh klien yang memiliki keyakinan berbeda? Menurut saya arsitek itu memiliki hak untuk menolak. Selain ketaatan atas keyakinan spiritual yang ia miliki, tak dapat dipungkiri bahwa merancang sesuatu yang tidak familiar baginya akan merusak, baik itu terhadap citra bangunan secara visual atau kesan suasananya.

            Contohnya seperti umat islam yang membiasakan diri untuk tidak melibatkan dirinya dengan hari raya umat lain. Bukannya tidak memiliki sifat toleransi terhadap sesame manusia, namun telah tertanam di jiwa mereka bahwa hal sekecil itupun—seperti memberikan ucapan selamat hari raya agama lain—merupakan sebuah larangan, dosa atau tabu bagi umat mereka. Apalagi ketika seorang arsitek muslim diminta untuk merancang gereja? Mau semahir dan seidaman apapun arsitek itu, mereka pun memiliki keterbatasan tertentu.

            Studi kasus lainnya yaitu membedakan seseorang atas ras mereka.  Bangsa tionghoa misalnya, adalah ras yang mendominasi bumi dan memiliki tradisi kental dimana telah mendarah-daging dan turun-menurun sehingga eksistensi mereka dapat kita rasakan dan ditemukan dengan mudah. Dalam segi ke-arsitektur-an, mereka memiliki kepercayaan pada ‘feng shui’. Feng shui (Mandarin: 風水) adalah ilmu topografi kuno dari Cina yang mempercayai bagaimana manusia dan surga (astronomi), serta bumi (geografi) dapat hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan dengan menerima Qi positif.

          Ketika seorang arsitek non-tiongkok diminta merancang bangunan sesuai kepercayaan fengshui klien dengan ras tiongkok—dan kepercayaan arsitek itu bertolak belakang, arsitek berhak menolak dengan alasan yang jelas dan logis.

           Argumentasi atau pendapat saya pada tugas ini lebih menitikberatkan kepada hak arsitek untuk menolak permintaan sesuai kepercayaan mereka, karena seringkali saya temukan beberapa orang menilai hal ini sepele—kemudian diasumsikan sebagai diskriminasi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 Rufi Imanisa, All rights reserved
Design by Rufimns. Powered by Blogger