HUKUM &
PRANATA PEMBANGUNAN
RUFI IMANISA / 29314849
Standar Etika 1.5
Nilai Hak Asasi Manusia
Arsitek
wajib menjunjung tinggi hak–hak asasi manusia dalam setiap upaya menegakkan
profesinya.
·
Kaidah Tata Laku 1.501
Dalam menjalankan
kegiatan profesionalnya, arsitek bersikap tidak membeda-bedakan
seseorang/golongan atas dasar penilaian ras/suku, agama, kebangsaan, cacat,
atau orientasi gender.
***
Dapat
kita perhatikan secara seksama dari ‘kaidah tata laku’ tersebut diatas, bahwa seorang arsitek tidak
dibenarkan membedakan klien atas hal-hal dasar yang merupakan status atau
identitas mereka. Memang benar tak seharusnya seorang arsitek—bahkan seorang
manusia pada hakekatnya menilai rendah atau memandang seseorang dengan sebelah
mata. Namun terkadang, ketika seorang arsitek memiliki kepercayaan akan suatu
hal atau prinsip yang ia yakini untuk tidak dilewati batasnya, disitu klien
dituntut untuk mengerti dan memaklumi hal itu.
Disini,
secara spesifik akan saya jelaskan tentang mengapa saya sedikit keberatan
dengan kaidah tata laku tersebut. Khususnya ketika seorang arsitek membedakan
seseorang atas dasar agama. Di dunia ini, terdapat beragam agama yang diyakini
oleh umat manusia. Dan dalam segi ke-arsitektur-an, agama memiliki tempat
ibadah dan karakter khasnya masing-masing.
Dalam
kasus ini, bayangkan ketika seorang arsitek diminta untuk merancang tempat
sakral (rumah ibadahnya) oleh klien yang memiliki keyakinan berbeda? Menurut
saya arsitek itu memiliki hak untuk menolak. Selain ketaatan atas keyakinan
spiritual yang ia miliki, tak dapat dipungkiri bahwa merancang sesuatu yang
tidak familiar baginya akan merusak, baik itu terhadap citra bangunan secara
visual atau kesan suasananya.
Contohnya
seperti umat islam yang membiasakan diri untuk tidak melibatkan dirinya dengan
hari raya umat lain. Bukannya tidak memiliki sifat toleransi terhadap sesame
manusia, namun telah tertanam di jiwa mereka bahwa hal sekecil itupun—seperti
memberikan ucapan selamat hari raya agama lain—merupakan sebuah larangan, dosa
atau tabu bagi umat mereka. Apalagi ketika seorang arsitek muslim diminta untuk
merancang gereja? Mau semahir dan seidaman apapun arsitek itu, mereka pun
memiliki keterbatasan tertentu.
Studi
kasus lainnya yaitu membedakan seseorang atas ras mereka. Bangsa tionghoa misalnya, adalah ras yang
mendominasi bumi dan memiliki tradisi kental dimana telah mendarah-daging dan
turun-menurun sehingga eksistensi mereka dapat kita rasakan dan ditemukan
dengan mudah. Dalam segi ke-arsitektur-an, mereka memiliki kepercayaan pada
‘feng shui’. Feng shui (Mandarin: 風水) adalah ilmu topografi kuno dari Cina yang mempercayai
bagaimana manusia dan surga (astronomi), serta bumi (geografi) dapat hidup
dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan dengan menerima Qi positif.
Ketika
seorang arsitek non-tiongkok diminta merancang bangunan sesuai kepercayaan
fengshui klien dengan ras tiongkok—dan kepercayaan arsitek itu bertolak
belakang, arsitek berhak menolak dengan alasan yang jelas dan logis.
Argumentasi
atau pendapat saya pada tugas ini lebih menitikberatkan kepada hak arsitek
untuk menolak permintaan sesuai kepercayaan mereka, karena seringkali saya
temukan beberapa orang menilai hal ini sepele—kemudian diasumsikan sebagai
diskriminasi.
0 komentar:
Posting Komentar